Pagi itu, dengan tekad bulat dan doa yang tiada henti, saya duduk mantap di bangku depan mobil 4x4 yang telah disiapkan...
Matahari yang sudah tidak malu-malu menampakkan kemilaunya tidak menyurutkan niat saya untuk mengencangkan sabuk pengaman dan mulai mengatur segala perlengkapan perang :D..
Air minum, cemilan, kamera dan laptop pun tidak jauh dari jangkauan..
Heboh banget sih... where are you going, Indah..
Hari ini dan 3 hari ke depan, saya dan tim akan menyusuri titik-titik perbatasan antara Indonesia dan Republik Demokratik Timor-Leste..
Kalau ditanya mengapa, jawabannya karena tugas..
Sebagai bagian dari implementasi rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia - Timor Leste yang disahkan melalui Peraturan Presiden tahun 72/2011, kedua negara sepakat untuk menerapkan Pas Lintas Batas (PLB) dan meluncurkan Pasar Tradisional di beberapa titik perbatasan yang telah disepakati dalam arrangement tahun 2003 antara kedua negara.
Untuk teman-teman yang belum pernah mendengar istilah PLB, PLB adalah dokumen perjalanan yang diberlakukan bagi penduduk lokal di wilayah tertentu, khususnya kecamatan atau distrik yang persis berada di titik-titik perbatasan, sesuai kesepakatan kedua negara. Dengan demikian, para penduduk lokal yang tinggal di wilayah tersebut, tidak memerlukan paspor untuk melintasi batas kedua negara. Mereka cukup menunjukkan PLB dan bisa melintas serta bebas bergerak dalam radius tertentu dan dalam masa waktu tertentu. But then again, PLB hanya berlaku untuk mereka yang tinggal di wilayah perbatasan, khususnya 5 kecamatan di Kabupaten Belu, 4 kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Utara, 1 kecamatan di Kupang dan untuk perbatasan laut, di Kabupaten Alor.
Dari 9 titik perbatasan darat yang disepakati, hingga kini baru 7 yang dibuka antara Indonesia dan Timor-Leste, yaitu Motaain - Batugade, Metamauk - Salele, Haumusu C/Wini - Wini, dan Napan - Bobometo, serta titik Haekesak/Turiskain - Tunubibi, Builalo - Memo, dan Haumeniana - Passabe yang baru dibuka di bulan Juni 2013. Kecamatan yang disebut di awal adalah wilayah Indonesia, sementara sisi lainnya adalah wilayah Timor-Leste. Sedangkan 2 titik yang telah disepakati namun belum dibuka adalah Laktutus - Belulik - Leten dan Oepoli - Citrana.
Dengan senang hati (walaupun berat dan bakaal kangeen dengan Bo, Obi et my munchkin), tugas ini saya terima....
My itchy feet can't wait to walk along those border lines and capture their beauties..
Sejujurnya, ini bukan kali pertama saya mengunjungi daerah perbatasan RI dan negara lainnya, khususnya perbatasan darat...
Tapi selalu banyak cerita dan pelajaran. (Dan juga foto) yang bisa diambil dari perjalanan-perjalanan tersebut yang layak untuk dituliskan..
Mungkin ada baiknya kalau saya bertanya lebih dahulu, kira-kira apa yang ada di benak teman-teman saat kita bicara tentang daerah perbatasan...
Seperti apa siiiih...wajah negara kita tercinta jika dilihat dari sisi terluar ini?
Apakah teman-teman membayangkan suatu daerah yang terbelakang? Di mana listrik belum ada..fasilitas publik belum memadai...kemana-mana susah..biaya hidup tinggi? Aparat keamanan ada di mana?
Atau justru.... tidak ada pos lintas batas?
Tidak ada petugas...semua tampak alami, tradisional dan bahkan pada batas tertentu, damai dan tentram...
Tidak ada petugas...semua tampak alami, tradisional dan bahkan pada batas tertentu, damai dan tentram...
Atau... Yang kita jumpai malah kota yang ramai, penuh aktivitas...ditandai dengan gedung megah serta garis/patok batas yang jelas dari kedua negara..banyak pelintas dari kedua negara yang lalu lalang melalui perbatasan serta kegiatan perekonomian seperti pasar tradisional yang ramai dan dinamis.
Well, terus terang, beberapa gambaran di atas tercermin di tiga titik perbatasan yang pernah saya kunjungi..
welcome to the border |
Yang pasti, kami dan tim memutuskan untuk meninjau titik batas Motaain, Malaka Barat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Perlintasan darat utama yang membatasi Indonesia dan Republik Demokratik Timor-Leste ini relatif ramai dengan para pelintas maupun kendaraan yang lalu lalang dari dua sisi.
Kami berangkat menuju perbatasan dari Dili, ibukota Timor-Leste.
Persiapan cermat pun dilakukan..mulai dari check and recheck kondisi mobil hingga perlengkapan logistik. Maklumlah, perjalanan yang akan ditempuh memakan waktu 'hanya' sekitar 4 jam, tapi jalan yang dilalui kondisinya luar biasa. Luar biasa jeleknya :D (naaaaah, it can't be that bad, batin saya :D). Jalur ini masih jauh lebih dekat dibandingkan jika kita berangkat dari Kupang, menuju Atambua, dan lanjut ke Motaain. Total perjalanan bisa mencapai 9 jam.
Singkat cerita..perjalanan pun dimulai.
Andito, teman asal Timor-Leste yang sudah sering bolak-balik ke perbatasan dan kali ini bertugas menjadi supir mobil kami, sudah mengingatkan bahwa perjalanan kali ini akan lebih seru dari perjalanan terakhir kami ke Los Palos, Timor-Leste (okeee...saya share juga nanti yaaa :D)..
one spot with a lovely coastline... |
Keluar dari Dili, kami memasuki Distrik Liquica...dan mulailah pemandangan cantik disuguhkan ..
Tidak sia-sia saya duduk manis terbanting-banting selama berjam-jam, ikut-ikutan ngerem saat mobil dipacu kencang atau belok di tikungan tajam. Kamera DSLR yang ikut terbanting-banting pun bekerja keras merekam keindahan sepanjang jalan ini. Walaupun terhalang kaca mobil dan , tapi niat mengabadikan pemandangan tidak tersurutkan :D...Meskipun hasil tidak maksimal, tapi hati puas dan terhibur.
pemandangan dari front seat......bagaimana tidak berdebu coba....jalan penuh pasiiiiir.... |
ada mobil keren jugaaa nih :D... |
perbaikan di sepanjang jalan.... |
Langit biru cerah, laut yang bersih dan pantai yang 'mengundang' menjadi hiburan kami di jalan....beneran, rasanya pengen nyemplung kalau melihat pantai dan laut yang memang favorit saya...
cobaaa...siapa yang tidak tergodaaa....kalau sajaaaa.... |
Sayangnya, perjalanan kami belum selesai dan setelah melewati Liquica, kami terus melalui Maubara menuju Batugade, sub-distrik yang menjadi batas terluar Timor-Leste menuju Indonesia.
Tiba di Batugade, kami pun berhenti sejenak untuk pemeriksaan paspor dan meluruskan kaki sejenak...di Pos Linta Batas Batugade, terlihat gedung pelayanan CIQ atau Customs, Immigration and Quarantine yang megah dan terpadu. Sepertinya baru dibangun beberapa tahun terakhir, bahkan dilengkapi dengan alat screening untuk kendaraan besar yang lalu lalang...Hmm, I was wondering how it looks on our side...
Selesai urusan di perbatasan Timor-Leste, kami pun lanjut ke zona netral dan menuju Pos Lintas Batas Motaain...Welcome back home, bisik saya dalam hati...
jembatan menuju wilayah Indonesia |
Tiba di Pos Lintas batas Motaain, kami pun turun dan berdiskusi banyak dengan petugas CIQ di sana..memang perlintasan ini adalah salah satu perlintasan darat yang paling ramai dan sibuk. Saat kami di sana, beberapa mobil terlihat berjejer menunggu pemeriksaan...sementara untuk antrian di imigrasi memang tidak terlalu panjang....
perbatasan Motaan, dari sisi dalam Indonesia... |
Di sekitar Pos Lintas Batas, kami juga melihat lokasi terminal antarkota dan antarnegara serta pasar tradisional..Sayangnya, kondisi terminal tidak begitu terawat dan sepi..saat saya di sana, hanya ada 1 mobil angkutan umum yang terlihat.
Sementara di kios-kios pasar tradisional, hanya ada 3 kios yang buka...itu pun sepertinya sepi pengunjung. Padahal, kerjasama perdagangan sudah direncanakan melalui pasar tradisional yang mengedepankan masyarakat di perbatasan kedua negara melalui arrangement sejak tahun 2003...sayangnya, hingga kini, belum ada pasar tradisional yang berfungsi secara rutin dan maksimal...Idealnya, satu hari dalam seminggu ditetapkan sebagai 'hari pasar' untuk masyarakat lokal di perbatasan kedua negara
terminal antarkota dan antarnegara...sayang tidak terawat... |
Pos Pengamanan Perbatasan di Motaain.... |
Perjalanan pun berlanjut...kali ini menuju Atambua...
Pemandangan eksotis lagi-lagi terpampang di depan mata...jalan berkelok dan berbukit-bukit, pemandangan laut lepas, langit biru bersih bebas polusi dan terik matahari yang makin siang makin mencorong...
jalan menuju Atambua....relatif lebih baik dibandingkan negara tetangga... |
rumah tradisional NTT yang banyak di temui di jalan....katanya dibuat dari batang lontar... |
Namun tidak bisa dipungkiri, wajah kemiskinan masih lekat di serambi depan wilayah RI tercinta. Tiga Kabupaten di NTT yang memiliki wilayah perbatasan, yaitu Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara dan Kupang pun masih menghadapi banyak masalah
Saat kami melewati wilayah Indonesia menuju Atambua, terlihatlah potret kita yang sesungguhnya. Di tengah pemandangan cantik yang melingkupi wilayah Timur Indonesia, rumah-rumah tradisional nan sederhana yang tampak di dekat daerah perbatasan.
Tidak terlihat tiang listrik yang menerangi daerah ini..mobil dan motor yang lalu lalang juga tidak terlalu banyak, hanya beberapa. Ternak pun hanya terlihat di beberapa tempat tertentu dan dalam jumlah yang tidak banyak. Lahan yang gersang terlihat mendominasi dan tidak banyak ditanami oleh tanaman produktif.
Sepanjang jalan, saya sempat melihat beberapa sekolah dasar negeri dan kantor kelurahan. Namun tidak terlihat pasar yang ramai ataupun aktivitas ekonomi yang menunjang pembangunan salah satu daerah terluar Indonesia ini. Sayang kami tidak sempat bertemu khusus dan berdiskusi dengan para penduduk di sekitar daerah perbatasan. Namun di sepanjang daerah pantai tersebut, saya melihat banyak petani garam. Beberapa bahkan menjual hasilnya di depan rumah. I know it might sound so judgmental, but saya yakin PR kita masih banyaaaak ...Belum terlihat fasilitas kesehatan publik seperti puskesmas dan RS. Saya pikir pasti ada, hanya mungkin tidak terlewati oleh kami. Satu hal lain yang langsung terbersit di pikiran saya adalah air bersih...dengan iklim yang panas terik dan tanah yang gersang, air bersih kemungkinan besar sulit didapat.
Memang harus kita akui bahwa gambaran umum tentang kawasan perbatasan Indonesia masih didominasi oleh daerah tertinggal. Pemerintah pun sebenarnya telah mengambil serangkaian langkah untuk mengatasi hal ini, termasuk dengan membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan atau BNPP sejak tahun 2010, guna mengkoordinasikan berbagai program pemerintah yang difokuskan pada pembangunan dan pengembangan perbatasan.
PR kita masih banyak dan banyak langkah nyata yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan saudara-saudara kita di wilayah perbatasan.
Well, itu baru satu titik batas yang kami lalui..Atambua pun sudah di depan mata..
Seperti apa kota Atambua yang makin terkenal namanya berkat film besutan Mira Lesmana, Atambua 39C....
I'll be back :D.....